Cinta memang persoalan hati (qalbum) yang bersifat labil (yataqallabu) sehingga butuh upaya maksimal untuk mengendalikannya. Rasulullah SAW. memaklumi fenomena ini sebagaimana sabdanya:
“Ya Allah, inilah usahaku sebatas kuasaku. Janganlah Engakau cela diriku tentang apa yang Engkau kuasai dan tidak kukuasai (hati).” (HR. Abu Dawud)
Melalui manajemen dan perngendalian, cinta sesungguhnya dapat menjadikan motivasi kontrol dalam kebaikan. Inilah esensi pesan al-hubb wa bughdhu fillah, cinta dan benci karena Allah.
Bahkan, kemarakan merupakan kelaziman yang selayaknya diekspresikan secara bijaksana tanpa keluar dari syariat. Kemarahan Rasulullah, contohnya, senantiasa diungkapkan dalam ekpresi perubahan mimic muka, diam, atau isyarat lain yang diiringi penjelasan dan dialog dari hati ke hati. Karenanya, beliau tidak menyukai lelaki yang suka memukul wanita bila marah apalagi sampai menampar wajah. Sebaliknya, beliau juga tidak menyukai wanita yang meninggalkan atau mengkhianati suaminya bila sedang marah.
Manajemen cinta akan menumbuhkan sikap adil yang membawa hidup sehat dan seimbang. Ibnul Qayyim mengatakan bahwa cinta bagi ruh sama dengan makanan bagi tumbuhan. Jika engkau meninggalkannya maka akan membahayakan diri seseorang, tapi jika terlalu banyak juga akan membinasakan. Kelezatan hidup inilah yang dilukiskan dalam hadits tentang kelezatan iman. Rasulullah bersabda:
“Ada tiga perkara yang siapa pun memilikinya niscahya akan merasakan kelezatan iman. Barang siapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari lainnya, barang siapa yang mencintai seseorang hanya karena Allah, dan siapa yang benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dicampakkan ke dalam neraka.”
dikutib dari buku "KETIKA CINTA DALAM NAUNGAN ILAHI"
penerbit "garailmu"