Proses menuju cinta suci diberkahi Allah SWT. Tidaklah mudah. Diperlukan upaya manajemen diri, termasuk pengendalian ego, menumbuhkan empati serta solidaritas segbagai persyaratan iman sebagaimana Rasulullah bersabda:
“Tidaklah beriman seseorang di anrtara kalian sampai ia mencintai saudara (seiman) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
Bahkan, cinta sesame mukmin merupakan syarat masuk surge
“Tidaklah kalian akan masuk surge sampai kalian beriman dan kalian akan beriman sehingga kalian saling mencintai.” (HR. Muslim)
Cinta yang dikehendaki Islam adalah cinta sejati yang arif, bukan cinta buta yang bodoh. Manajemen cinta mengajarkan agar perasaan cinta tidak menghalangi kita melakukan hal yang semestinya dekerjakan. Sehingga, kita tidak akan melakukan hal yang bertentangan dengan kemaslahatan atau memancing kemarahan Allah. Sikap demikian merupakan cinta buta yang bodoh. Sebagai contoh, seorang ibu yang begitu memanjakan anaknya karena cinta yang mendalam sampai melupakan pendidikan dan pengajaran justru dapat membuat anak menjadi durhaka.
Cinta yang sejati adalah sebagaimana cinta Allah kepada hamba-Nya dan cinta Rasulullah kepada umatnya. Yang diinginkan Allah bagi hamba-Nya hanyalah kebaikan, kesempurnaan, kemuliaan, membenci kemungkaran dan kejahatan.
Seorang muslim hanya mengenal cinta suci yang penuh kearifan dan kesadaran yang melahirkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, siletakkan di atas segalanya sebagai tolok ukur. Suatu ketika, seorang Arab Badui menghadap Rasulullah SAW. dan menyakan perihal datangnya kiamat. Rasulullah balas bertanya, “Apa yang telah kau persiapkan?” Ia menjawab, cinta kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya.” Beliau menyahut, “Engkau (kelak akan) bersama siapa yang kau cintai.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Cinta karena Allah SWT. dan benci karena Allah akan menjadi kontrol sekaligus tolok ukur dalam mencintai segala hal. Dengan demikian, cinta yang tulus karena Allah Dzat Maha Abadi inilah yang akan bertahan abadi, sementara cinta yang dilandasi motif lainnya bersifat temporer, bahkan membuahkan penyesalan. Manajemen cinta mendidik sikap selektif dalam melabuhkan cinta. Rasulullah bersabda:
“Seorang akan mengikuti pola hidup orang dekatnya maka hendaklah kalian mencermati dengan siapa ia berkawan.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dan Baihaqi)
“Janganlah engkau berkawan, kecuali kepada seorang mukmin dan janganlah menyantap makananmu kecuali orang yang takwa.” (HR. at-Tirmidzi, dan Abu Dawud).
Di antara konsekuensi sikap ini adalah arif dalam memilih pasangan hidup. Nabi SAW. bersabda:
“Seorang wanita dinikahi karena empat hal, yaitu hartanya, status social, kecantikannya, dan agamanya, Maka, pilihlah yang kuat agamanya niscahya kamu diberkahi.” (HR. Hukhari dan Muslim).
“Jika seseorang yang kau puas dengan kondisi agama dan akhlaknya melamarmu maka nikahilah ia. Sebab, jika tidak kau lakukan maka akan timbul fitnah di muka bumi dan kerusakan yang dahsyat.” (HR. at-Tirmidzi).
Demikian pula larangan tegas al-Qur’an untuk mengambil pasangan hidup dari yang beriman akidah karena ikatan Allah adalah yang paling kuat sementara lainnya adalah rapuh.
dikutib dari buku "KETIKA CINTA DALAM NAUNGAN ILAHI"
penerbit "garailmu"